HENDRA KUSUMA WARDHANA

Home | About Us | Our Services | Location | Contact Us | Meet Our Staff | Customer Accolades

Port of Tacoma, WA

Lombok adalah sebuah pulau kecil di sebelah timur pulau Bali, yang terdengar adalah kekerasa kekejaman, kebengisan dan bagbarian serta kemiskinan masyaraka. belum lagi sebuah kebiasaan kawin cerai dan keharusan laki-laki untuk bisa mencuri agar dapat di hargai status sosialnya. Beratus cerita negatif tentang lombok kita dengar baca dan saksikan di media .

Di luar itu saya akan menceritakan sedikit tentang sisi sufisme yang ada di lombok, akan saya mulai dari sisi sejarah. LOMBOK berasal kata dari lombok yang artinya lurus . ( mengkritisi bahwa lombok = cabe ) hal ini disebabkan karena orang lombok sendiri pada dasarnya merupakan orang yang lurus, polos , sederhana dan bersahaja.

sungguh ironos dengan keadaan sekarang................................


Ada 2 orang ahli hikmah yang terkenal dari lombok bernama DANE RAHIL dan TGH Zainudin ( maulana syeikh ). kedua orang ini sama tapi berbeda dimana seorang DANE RAHIL adalah tokoh adat dan penyebar Tasawuf dan Kebatinan sementara TGH Maulan Syeikh seorang kiayi yang mengajarkan syariat. tetapi kedua ini bersaudara dalam perguruan, berteman ketika kecil dan bersahabat ketika tua.

Ajaran DANE RAHIL lebih dekat kepada ajaran walisongo, beliau mengadopsi kitab sanga pati yang di bawa oleh seorang murid dari Sunan Kalijaga dan Syeikh siti jenar mengenai ilmu hikmah dan penerapanya. segingga tidak jarang belaiau ini di anggap paranormal, dukun atau spiritualis di banding sebagai tokoh agama. sering terjadi kegaiban/karomah allah yang ada padanya dimulai dari pecah 9 tubuh kasarnya sehingga membingungkan orang sampai dnegan jenazahnya yang tidak hancur sampai sekarang.

Ajaran Maulana Syeikh merupakan ajaran syariat dimana beliau mendirikan organisasi kemasyarakatan terbesar di lombok yaitu NW/ nahdatul Wathan. beliau mengajarkan syariat di pesantren. tetapi juga mengajarkan tasawuf walaupun dalam forsi yang cukup .

Kedua tokoh ini telah tiada tanpa ada penerusnya yang sejati


Si Kecil Penantang Dominasi TRAC

Liputan Majalah Bisnis Swa Sembada edisi April 2005
Kamis, 28 April 2005Oleh : Ishak Rafick


Hanya dalam dua tahun, Eazy berhasil membiakkan bisnis sewa mobilnya dari empat menjadi 480 unit. Bahkan, kini Eazy menjadi pesaing berat Toyota Rent A Car di Bali. Bagaimana bisa?
Oleh kawan-kawannya, ia dijuluki Hendra Kecil, cocok dengan perawakannya yang kecil. Namun, meski tubuhnya kecil dan usianya baru 28 tahun pada 15 Maret 2005, Hendra Kusuma Wardana memiliki kemampuan dan energi yang luar biasa. Ini terlihat dari keberhasilannya mengembangkan perusahaan penyewaan mobilnya, Eazy Rent A Car. Dua tahun lalu, baru empat mobil yang dikelolanya, saat ini 480 mobil. Di pentas bisnis di Pulau Dewata saja namanya belum terkenal, apalagi di pentas nasional.

Terkadang, saking tak dikenalnya, pelanggan lebih dulu menyapa anak buah yang mendampinginya daripada si bos kecil dari perusahaan beraset sekitar Rp 12 miliar itu. Itu bukan kejadian 1-2 kali saja, tapi berkali-kali dan sering, ujar Hendra. Yah, mungkin karena tubuh saya yang kecil, kurus dan berkulit agak gelap ini. Ditambah pula dengan kegemaran saya bercanda, berkesan kurang serius. Dianggapnya tidak ada potongan direktur, sambung ayah seorang anak ini setengah bergurau.

Hendra lahir di Selong, Lombok, 15 Maret 1977. Ia baru menginjakkan kaki di Bali tahun 2000, setelah menamatkan studi di Fakultas Hukum Universitas Mataram. Sebelum terjun ke dunia bisnis, ia sempat bekerja sebagai supervisor peneliti di Lembaga Demografi Universitas Indonesia. Tak puas bekerja di lahan kering itu, Hendra hijrah ke Bali. Di Bumi Seribu Pura ini, ia bergabung dengan Toyota Rent A Car (TRAC), perusahaan rental mobil milik Astra, sebagai marketing officer. Ia mengungkapkan, gajinya waktu itu cuma habis buat mencicil sepeda motor yang dipakainya buat operasional sehari-hari. Tempo-tempo saking seretnya keuangan, ia tak bisa bayar parkir yang cuma Rp 100.

Toh, pekerjaan itu dilakoninya dua tahun sambil menimba ilmu di dunia nyata. Lalu, ia hengkang ke Auto Bagus Rent A Car, perusahaan lokal yang bergerak di bidang yang sama. Setahun di Auto Bagus, Hendra kemudian nekat membangun usaha rental mobil sendiri. Bekalnya cuma pengalaman dan jaringan yang dibentuknya selama bekerja di perusahaan orang lain. Ia mengaku terpengaruh Hari Wibisono, eksekutif HM Sampoerna Bali, yang menantangnya membuat usaha sendiri di bidang itu.

Begitulah, suami Latifah Sri Astuti ini kemudian mendirikan Eazy Rent A Car dengan modal Rp 6 miliar -- Rp 5 miliar dari investor yang percaya pada kemampuannya, Rp 1 miliar lagi dari sang guru Hari Wibisono yang juga sangat percaya pada kejujuran dan kemampuannya. Dengan dana itu, ayah Orlando Setya Wardana (1,5 bulan) ini kemudian menyewa tanah di kawasan Jalan By Pass Ngurah Rai Sanur untuk jangka 15 tahun. Di atas tanah itu ia membangun kantor dua lantai, dilengkapi bengkel dan alat cuci mobil hidraulis. Bengkelnya diberi nama Tangkas. Adapun buat rental mobilnya, Eazy, Hendra membeli empat unit mobil baru. Kedua divisi itu berada di bawah bendera CV Putra Auto Perkasa yang secara resmi mulai beroperasi Februari 2003 dengan 5 karyawan.

Sebagai orang yang berpengalaman di bisnis penyewaan mobil, ia langsung membidik korporat sebagai sasarannya. Alasannya sederhana: risiko hilang dan wanprestasi dalam pembayaran jauh lebih kecil di korporat ketimbang individual. Jangka sewa untuk korporat ditetapkan minimal satu bulan hingga maksimal 5 tahun, dengan atau tanpa sopir. Khusus untuk Bali dan Lombok, Eazy menawarkan juga sewa harian untuk perusahaan, bahkan belakangan juga buat perorangan, meski dengan seleksi. Khusus untuk perorangan, saya agak memilih-milih konsumen. Bukan apa-apa, demi keamanan saja, ujar bungsu dari empat bersaudara ini.

Kehati-hatian Hendra membuahkan hasil. Selama dua tahun beroperasi, ia belum pernah dirugikan konsumen. Bahkan, perusahaannya terus berkembang, tidak saja dari sisi jumlah mobil yang disewakannya yang kini membiak menjadi 480 unit, tapi juga dari sisi jangkauannya. Dalam dua tahun, Eazy telah menjadi perusahaan penyewaan mobil terbesar kedua di Bali setelah TRAC. Kini, selain di Bali, Eazy telah mengembangkan sayapnya sampai ke Lombok, Sumbawa, Kupang, Surabaya, Madura, Semarang dan Bandung. Mobil yang disewakan pun bervariasi, mulai dari pikap, boks, minibus, city car hingga limosin.

Sejalan dengan pertumbuhan perusahaan, badan hukum CV pun diubah menjadi PT Tangkas Perkasa. Tujuannya, ikut bersaing di usaha jasa transportasi nasional. Masih dalam kerangka itu, Hendra berencana mengubah kantor-kantor perwakilannya di sejumlah kota menjadi kantor cabang Eazy. Untuk mencapai rencana jangka panjang tersebut, ia berusaha meningkatkan kepuasan pelanggannya dengan menetapkan standar pelayanan berupa bebas biaya perawatan dan suku cadang, mobil pengganti, jaminan pelayanan servis di bengkel-bengkel yang ditunjuk dan servis 24 jam. Juga disediakan asuransi all risk, asuransi third party liability, asuransi passenger dan harga yang lebih rendah, hingga mobil brand new bagi pelanggan yang telah menandatangani kontrak minimal setahun.

Menurut Hendra, kunci suksesnya terletak di layanan. Bila ada kendaraan pelanggan yang mengalami kecelakaan, pelanggan tinggal angkat telepon. Dalam waktu maksimal dua jam -- tergantung jaraknya dari kantor Eazy -- masalah tersebut akan diatasi oleh petugas Eazy. Pelanggan dipersilakan melanjutkan perjalanan dengan mobil pengganti. Bagi pelanggan yang mau keluar Bali, dipersilakan menghubungi bengkel-bengkel ternama yang sudah ditunjuk tanpa perlu keluar biaya, karena pihak bengkel langsung akan menagih ke pihak Eazy.

Keistimewaan layanan Eazy diakui R. Roelandy, Supervisor Penjualan Lapangan PT Jangkar Delta Indonesia (Anker Bir) Perwakilan Bali, NTB dan NTT. Mobil sewaan saya pernah mengalami kerusakan mesin di tengah malam. Saya langsung telepon Eazy. Tak saya sangka, Hendra sendiri yang datang membawakan mobil pengganti,tutur Ruli, panggilan akrab Roelandy, yang sudah setahun ini menggunakan jasa Eazy. Ia juga mengaku pernah ditabrak orang dari belakang dan Hendra cepat menyelesaikan persoalan ini di tempat. Sampai sekarang saya tidak pernah berpikir untuk pindah ke jasa perusahaan lain. Pokoknya, di sini semua dibuat mudah, sesuai dengan namanya, Eazy,kata Ruli. Kelebihan lain, tambahnya, cara Hendra memelihara hubungan sangat bagus. Tak jarang Hendra datang ke kantor saya cuma untuk mencari tahu bila ada keluhan yang timbul.

Kini, 80% pelanggan Eazy adalah korporat baik swasta maupun pelat merah. Antara lain, Anker Bir, Excelcomindo, HM Sampoerna, Sosro, beberapa bank swasta nasional dan perusahaan pertambangan. Bahkan, Pemkab Jembrana dengan bupatinya I Gede Wisana yang terkenal itu, termasuk salah satu pelanggannya dengan kontrak berjangka panjang. Lalu, 3% merupakan pelanggan perorangan dan sisanya yang 17% merupakan pelanggan yang menyewa harian. Perusahaan yang kini didukung 55 karyawan ini menghabiskan biaya operasional Rp 600 - 800 juta/bulan, sedangkan omsetnya Rp 1,6 miliar/bulan.

Sejauh ini, semua pelanggan korporat dan individualnya relatif puas atas pelayanan Eazy. Itu setidaknya yang diungkapkan Bagus Bayu Ardiata, yang bergabung dengan Eazy sejak Juni 2003 sebagai tenaga pemasaran. Hendra, dikatakan Bayu, memasang target untuk setiap anak buahnya, tapi selalu disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Tak jarang Hendra terjun sendiri mencari pelanggan. Setelah jalan kerja sama terbuka, menurut Bayu yang kini menjadi Supervisor Eazy, Hendra meyerahkan kembali ke anak buahnya untuk digarap lebih jauh. Hendra tak pernah langsung menyodorkan penawaran, tapi selalu menggali dulu apa kebutuhan calon pelanggan. Dia juga selalu memberi kesempatan kepada calon pelanggan untuk membanding-banding dulu produk yang ditawarkannya dengan produk dari perusahaan sejenis, tutur Bayu memuji kepiawaian bosnya, yang tak segan menggunakan jasa rental-rental kecil bila kekurangan kendaraan, asal kondisi mobilnya masih bagus.

Kepiawaian Hendra di bidang yang ditekuninya itu juga diakui S.N. Ratwinartha, Manajer Hertz International Cabang Bali. Perusahaan lisensi transportasi internasional yang berpusat di Oklahoma ini mulai membuka cabangnya di Bali pada Juni 2001. Komang – sapaan akrab Ratwinartha -- mengaku tidak heran, Eazy dalam waktu sesingkat itu sudah menjelma menjadi pesaing TRAC yang paling disegani di Bali. Ia mengaku bila kekurangan kendaraan, sering menggunakan jasa Eazy.

Meski sukses di bisnis jasa penyewaan mobil, Hendra nampaknya belum merasa puas. Di sela kesibukannya memimpin Eazy, tahun 2004 ia mendirikan Bali Design Inspiration (BDI), perusahaan promosi dan periklanan. Investasinya cuma Rp 15 juta, dengan 12 karyawan. Meski baru seumur jagung, BDI telah menunjukkan taringnya lewat keberhasilannya menggarap promosi Sampoerna, Sosro, Indosat dan Anker Bir beberapa waktu lalu.

“Saya memang bercita-cita membentuk perusahaan yang terintegrasi, yang bisa memenuhi apa pun keinginan konsumen, kata Hendra. Adapun untuk Eazy, ia telah merencanakan menambah kantor perwakilannya di Pekanbaru dan Balikpapan. Pada saat yang sama, ia berusaha terus meningkatkan status perwakilannya di kota-kota yang ada menjadi kantor cabang. Obsesinya yang lain, membuka kantor cabang Eazy di Jakarta.




URL :
http://swa.co.id/swamajalah/artikellain/details.php?cid=1&id=2550

.

Rekonstruksi sejarah 

Merekonstruksi sejarah Kerajaan Selaparang menjadi sebuah bangunan kesejarahan yang utuh dan menyeluruh agaknya memerlukan pengkajian yang mendalam. Permasalahan utamanya terletak pada ketersediaan sumber-sumber sejarah yang layak dan memadai. Sumber-sumber yang ada sekarang, seperti Babad dan lain-lain memerlukan pemilihan dan pemilahan dengan kriteria yang valid dan reliable. Apa yang tertuang dalam tulisan sederhana ini mungkin masih mengundang perdebatan. Karena itu sejauh terdapat perbedaan-perbedaan dalam pengungkapannya akan dlmuat sebagai gambaran yang masih harus ditelusurl sebagal bahan pengkajlan leblh ianjut.
Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah tumbuh dan berkembang di pulau Lombok, bahkan disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok masa lalu. Posisi ini selanjutnya menempatkan Kerajaan Seiaparang sebagai icon penting kesejarahan pulau ini. Terbukti penamaan pulau ini juga sering disebut sebagai bumi Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang.
Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat (2002) mencatat setidak-tidaknya tiga pendapat tentang asal muasal kerajaan Selaparang. Pertama, disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan proses kelanjutan dari kerajaan tertua di pulau Lombok, yaitu Kerajaan Desa Lae' yang diperkirakan berkodudukan di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam perkembangannya masyarakat kerjaan ini berpindah dan membangun sebuah kerjaan baru, yaitu kerjaan Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga berada di Desa Sembalun Sekarang. Dan ketika Gunung Rinjani meletus, penduduk kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya kerajaan. Betara Indra kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang terletak di sebelah utara Perigi sekarang.Setelah berakhirnya kerajaan yang disebut terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau Kerajaan Selaparang.
Kedua, disebutkan bahwa setelah Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspahit melarikan diri ke dalam hutan dan sekembalinya tentara itu Raden Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu Parang yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.
Ketiga, disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinyo ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi?) dan Dompu.
Agak sulit membuat kompromi penafsiran untuk menemukan benang merah ketiga deskripsi di atas. Minimnya sumber-sumber sejarah menjadi alasan yang tak terelakkan. Menurut Lalu Djelenga (2004), catatan sejarah kerajaan-kerajaan di Lombok yang lebih berarti dimulai dari masuknya Majapahit melalui exspedisi di bawah Mpu Nala pada tahun 1343, sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa Maha Patih Gajah Mada yang kemudian diteruskan dengan inspeksi Gajah Mada sendiri pada tahun 1352.
Ekspedisi ini, lanjut Djelenga, meninggalkan jejak kerajaan Gelgel di Bali. Sedangkan di Lombok, dalam perkembangannya meninggalkan jejak berupa empat kerajaan utama saling bersaudara, yaitu Kerajaan Bayan di barat, Kerajaan Selaparang di Timur, Kerajaan Langko di tengah, dan Kerajaan Pejanggik di selatan. Selain keempat kerajaan tersebut, terdapat kerajaan-kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong serta beberapa desa kecil, seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini selanjutnya menjadi wilayah yang merdeka, setelah kerajaan Majapahit runtuh.
Di antara kerajaan dan desa itu yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok. Disebutkan kota Lombok terletak di teluk Lombok yang sangat indah dan mempunyai sumber air tawar yang banyak. Keadaan ini menjadikannya banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Palembang, Banten, gersik, dan Sulawesi.
Belakangan, ketika Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan Ratu Giri datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.
"Susuhnii Ratu Giri memerintahkan keyakinan baru disebarkan ke seluruh pelosok. Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu bandan di kirim ke Makasar, Tidore, Seram dan Galeier, dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok, dan Sumbawa. Prapen pertama kali berlayar ke Lombok, dimana dengan kekuatan senjata ia memaksa orang untuk memeluk agama Islam. Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen berlayar ke Sumbawa dan Bima. Namun selama ketiadaannya, karena kaum perempuan tetap menganut keyakinan Pagan, masyarakat Lombok kembali kepada faham pagan. Setelah kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali, dan dengan dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah baru yang kali ini mencapai kesuksesan. Sebagian masyarakat berlari ke gunung-gunung, sebagian lainnya ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukkan. Prapen meninggalkan Raden Sumuliya dan Raden Salut untuk memelihara agama Islam, dan ia sendiri bergerak ke Bali, dimana ia memulai negosiasi (tanpa hasil) dengan Dewa Agung Klungkung."
Proses pengislaman oleh Sunan Prapen menuai hasil yang menggembirkan, hingga beberapa tahun kemudia seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali beberapa tempat yang masih memepertahankan adat istiadat lama.
Sementara di Kerajaan Lombok, sebuah kebijakan besar dilakukan Prabu Rangkesari dengan memindahkan pusat kerajaan ke Desa Selaparang atas usul Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda. Pemindahan ini dilakukan dengan alasan letak Desa Selaparang lebih strategis dan tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya.
Menurut Fathurrahman Zakaria, dari wilayah pusat kerajaan yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ini juga memiliki daerah belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi bertingkat-tingkat sampai hutan Lemor yang memiliki sumber air yang melimpah.
Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang maju di berbagai bidang. Salah satunya adalah perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan manusia-manusia sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari ini. Dengan mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda L. C. Van den Berg yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan sebagainya.
Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam bidang sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 lembar menggariskan sifat dan sikap seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta artinya gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi. Danti artinya ludah; apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi. Kusuma artinya kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali. Warsa artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik kembali menjadi awan. Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah dalam perkataan.
Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil), tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama),tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia), atau terpi (teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau genem (rajin).
Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang. Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi monemui kegagalan.
Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik memaanfaatkan situasai untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim Dangkiang Nirartha untuk memasukkan faham baru berupa singkretisme Hindu-Islam. Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat mempengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini.
Kedatangan VOC Belanda ke Indonesia yang menguasai jalur perdagangan di utara telah menimbulkan kegusaran Gowa, sehingga Gowa menutup jalur perdagangan ke selatan dengan cara menguasai Pulau Sumbawa dan Selaparang. Dan untuk membendung misi kristenisasi menuju ke barat, maka Gowa juga menduduki Flores Barat dengan membangun Kerajaan Manggarai.
Ekspansi Gowa ini menyebabkan Gelgel yang mulai bangkit tidak senang. Gowa dihadapkan pada posisi dilematis, mereka khawatir Belanda memanfaatkan Gelgel. Maka tercapai kesepakatan dengan Gelgel melalui perjanjian Saganing pada tahun 1624, yang isinya antara lain Gelgel tidak akan bekerja sama dengan Belanda dan Gowa akan melepaskan perlindungannya atas Selaparang, yang dianggap halaman belakang Gelgel.
Akan tetapi terjadi perubahan sikap sepeninggal Dalem Sagining yang digantikan oleh Dalem Pemayun Anom. Terjadi polarisasi yang semakin jelas, yakni Gowa menjalin kerjasama dengan Mataram di Jawa dalam rangka menghadapi Belanda. Sebaliknya Belanda berhasil mendekati Gelgel, sehingga pada tahun 1640, Gowa masuk kembali ke Lombok. Bahkan pada tahun 1648, salah seorang Pangeran Selaparang dari Trah Pejanggik bernama Mas Pemayan dengan gelar Pemban Mas Aji Komala, diangkat sebagai raja muda, semacam gubernur mewakili Gowa, berkedudukan di bagian bara pulau Sumbawa.
Akhirnya perang antara Gowa dengan Belanda tidak terelakkan. Gowa melakukan perlawanan keras terutama dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur. Sejarah mencatat Gow harus menerima perjanjian Bungaya pada tahun 1667. Bungaya adalah sebuah wilayah yang terletak disekitar pusat kerajaan Gelgel di Klungkung yang menandai eratnya hubungan Gelgel-Belanda. Konon Gelgel berusaha memanfaatkan situasi dengan mengirimkan ekspedisi langsung ke pusat pemerintahan Selaparang pada tahun 1668-1669, tetapi ekspedisi tersebut gagal.
Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangganya, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang, dan mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini. Kekuatan itu telah menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan, yang berdiri pada tahun 1622.
Namun bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan melakukan ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.
Di balik itu, memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara Selaparang dan Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling mengharapkan peran yang lebih di antara kedua kerajaan serumpun ini. Atau saling lempar tanggung jawab. Dalam kecamuk peperangandan upaya mengahadapi masalah kekuatan yang baru tumbuh dari arah barat itu, maka secara tiba-tiba saja, tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan, yaitu patih kerajaan sendiri yang bernama, Raden Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan Pejanggik.yang dulu (Kerajaan Pejanggik-red) berada di Daerah Kec. Pejanggik cukup jauh dari desa Labulia yang berada di Kecamatan Jonggat
Atas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi Tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal yang diperoleh, maksud kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan Pejanggik.
Namun dalam kenyataan sejarah, ekspedisi itu telah menghancurkan Kerajaan Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang dapat ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, karena sudah dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. Pusat kerajaan hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh keluarganya mati terbunuh.
Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian, pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik dibumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem. Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya.

Hendra Kusuma Wardhana


Lombok, Antara Batur Bali dan "Semeton" Sasak


Secara geografis, Pulau Lombok dan Pulau Bali memang terpisah. Batasnya jelas. Selat Lombok, yang membentang di sepanjang pesisir barat Pulau Lombok atau di pesisir timur Pulau Bali, menghubungkan kedua pulau kecil di wilayah Nusa Tenggara ini. Tetapi, dari sisi sejarah dan budaya, keduanya memiliki kedekatan khusus yang menjadikan Lombok dan Bali seperti dua saudara sekandung. Bahkan, sampai muncul istilah, ”di Lombok kita bisa menemukan Bali”.
Kedekatan budaya Bali dan Lombok memang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kedua pulau bertetangga ini. Diawali dengan masuknya pengaruh paham Siwa-Buddha dari Pulau Jawa yang dibawa para migran dari kerajaan-kerajaan Jawa sekitar abad ke-5 dan ke-6 Masehi, sampai infiltrasi Kerajaan Hindu Majapahit yang mengenalkan ajaran Hindu-Buddha ke penjuru timur wilayah Nusantara pada abad ke-7 M.
Sejumlah penanda masih terlihat jelas hingga saat ini. Di sejumlah tempat di Pulau Lombok dan Bali terdapat nama-nama desa yang mengadopsi nama tempat di Jawa. Sebut saja, Kediri, Pajang, ataupun Mataram, yang kini menjadi nama ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kedekatan sejarah dan budaya penduduk kedua pulau ini menjadi lebih kental pada masa kejayaan Kerajaan Karangasem di Pulau Bali sekitar abad ke-17 M, yang menjadikan Lombok sebagai hinterland-nya Karangasem.
Pendatang asal Bali yang bermigrasi ke Lombok pada zaman kerajaan itu memanggil penduduk Sasak dengan sebutan semeton, yang berarti saudara. Sebaliknya, terhadap warga Bali dan etnis non-Sasak lainnya, masyarakat Sasak memberikan panggilan hormat, batur, yang berarti sahabat. Batur Bali berarti sahabat dari Bali, Batur Jawa bermakna sahabat dari Jawa.
Bahasa Bali-Lombok
Salah satu kedekatan budaya antara Lombok dan Bali lainnya adalah bahasa. Sebelum ramai didatangi beragam etnis, Pulau Lombok sudah dihuni masyarakat Sasak yang disebut sebagai penduduk asli. Ragam bahasa antara Lombok dan Bali hampir serupa, sama-sama bersumber dari bahasa Kawi dengan aksara Jawa Kuno.
”Huruf aksara Sasak dan Bali 100 persen sama, hanacaraka-nya berjumlah 18. Ini berbeda dengan aksara di Jawa yang lebih banyak dua aksara. Bedanya, penulisan aksara Sasak lebih tegas dibanding aksara Bali,” ujar pemerhati budaya Sasak, I Gde Mandia, kepada tim Lintas Timur-Barat di Mataram, Minggu (23/10).
Begitu juga dalam teknik pencatatan. Tradisi menulis di daun lontar dilakukan pujangga dan sastrawan di Bali dan Lombok. Teknik ini dilanjutkan dengan tradisi membaca naskah sastra, pepawosan dalam budaya Sasak dan mabebawos dalam budaya Bali.
Kedekatan kultural itu dimanifestasikan pula dalam kehidupan beragama. Meskipun kini mayoritas masyarakat Sasak menganut agama Islam, namun dalam sekelompok kecil dari mereka masih menjalankan tradisi Watu Telu tersebut yang kemudian dikenal penganut Islam Watu Telu.
”Agama Tirta, yang berkembang menjadi agama Hindu, dan Watu Telu merupakan kepercayaan yang hampir sama, baik dari bentuk pemujaan maupun sarananya, yang disebut kemalik atau semacam tugu pemujaan,” kata Mandia. ”Ketika Islam semakin berkembang di Lombok, perlahan kemalik ini menghilang karena para penggrembe atau pemeluk kepercayaan itu beralih menjadi Muslim,” ujar mantan Kepala Taman Budaya Mataram ini.
”Di beberapa pura, kemalik ini masih ada dan disebut sebagai pelinggih kemalik, seperti di Pura Lingsar, Pura Suranadi, juga di Medaing dan Narmada,” lanjut Mandia.
Dalam ritual upacara masyarakat Hindu di Lombok dikenal tradisi melantunkan tembang Turun Taun saat berlangsungnya upacara sakral memohon turunnya hujan. Upacara ini digelar di pura setempat menjelang datangnya musim tanam.
Meskipun dilantunkan masyarakat Hindu, ragam bahasa dan lagunya jelas menunjukkan pengaruh Sasak, ditambah beberapa sisipan kata-kata bernuansa Islam. Sebait lagu ini, misalnya, Turun Taun Leq Gedong Sari//Mumbul Katon Suarge Mulie//Langan Dee Sida Allah Nurunang Sari//Sarin Merta Sarin Sedana, yang intinya kira-kira bermakna semoga Tuhan segera menurunkan hujan sebagai inti kebahagiaan.
Kata sangkaq dan kembeq (kenapa), lasingan, timaq (walau), aro (ah), kelaq moto (sayur bening), dalam bahasa Sasak, kata Mandia, antara lain juga diadopsi sebagai percakapan sehari-hari masyarakat Bali di Lombok.
Akulturasi kearifan
Akulturasi budaya antara penduduk lokal dan Bali serta Jawa juga terlihat dalam busana dan tradisi masyarakat. Misalnya, ikat kepala, yang dalam tata busana adat Sasak disebut sapuk (dipakai pria), mirip dengan destar dalam busana Bali.
Kebiasaan nebon, suami yang membiarkan rambutnya gondrong selama sang istri hamil, dikenal dalam tradisi Sasak dan Lombok. Rambut sang suami baru dipotong setelah istrinya melahirkan. Selama nebon, kegiatan rumah tangga ditangani suami. Kebiasaan ini dipertahankan dengan tujuan demi melahirkan generasi yang bibit, bebet, dan bobotnya berkualitas, juga kesehatan jasmani dan rohaninya lebih baik.
”Dulu, kalau mau berkunjung ke rumah seorang gadis, meskipun keduanya sama-sama keluarga Bali, sang pemuda harus bisa membacakan isi lontar Pesasakan, yang bahasa pantunnya murni menggunakan bahasa Sasak,” kata Mandia.
Mandia mengakui, tradisi yang sarat kearifan lokal tersebut kini sudah semakin memudar, bahkan menghilang, karena jarang dipraktikkan. Salah satunya, kebiasaan bertukar bahasa antara batur Bali, batur Jawa, dan semeton Sasak. ”Selain menjadi alat berkomunikasi, bahasa juga merupakan alat mempererat hubungan sosial dan alat pemersatu,” ujar Mandia mengakhiri perbincangan

Store entrance; Size=180 pixels wide

Hendra Kusuma Wardhana


Lombok, Antara Batur Bali dan "Semeton" Sasak


Secara geografis, Pulau Lombok dan Pulau Bali memang terpisah. Batasnya jelas. Selat Lombok, yang membentang di sepanjang pesisir barat Pulau Lombok atau di pesisir timur Pulau Bali, menghubungkan kedua pulau kecil di wilayah Nusa Tenggara ini. Tetapi, dari sisi sejarah dan budaya, keduanya memiliki kedekatan khusus yang menjadikan Lombok dan Bali seperti dua saudara sekandung. Bahkan, sampai muncul istilah, ”di Lombok kita bisa menemukan Bali”.
Kedekatan budaya Bali dan Lombok memang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kedua pulau bertetangga ini. Diawali dengan masuknya pengaruh paham Siwa-Buddha dari Pulau Jawa yang dibawa para migran dari kerajaan-kerajaan Jawa sekitar abad ke-5 dan ke-6 Masehi, sampai infiltrasi Kerajaan Hindu Majapahit yang mengenalkan ajaran Hindu-Buddha ke penjuru timur wilayah Nusantara pada abad ke-7 M.
Sejumlah penanda masih terlihat jelas hingga saat ini. Di sejumlah tempat di Pulau Lombok dan Bali terdapat nama-nama desa yang mengadopsi nama tempat di Jawa. Sebut saja, Kediri, Pajang, ataupun Mataram, yang kini menjadi nama ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kedekatan sejarah dan budaya penduduk kedua pulau ini menjadi lebih kental pada masa kejayaan Kerajaan Karangasem di Pulau Bali sekitar abad ke-17 M, yang menjadikan Lombok sebagai hinterland-nya Karangasem.
Pendatang asal Bali yang bermigrasi ke Lombok pada zaman kerajaan itu memanggil penduduk Sasak dengan sebutan semeton, yang berarti saudara. Sebaliknya, terhadap warga Bali dan etnis non-Sasak lainnya, masyarakat Sasak memberikan panggilan hormat, batur, yang berarti sahabat. Batur Bali berarti sahabat dari Bali, Batur Jawa bermakna sahabat dari Jawa.
Bahasa Bali-Lombok
Salah satu kedekatan budaya antara Lombok dan Bali lainnya adalah bahasa. Sebelum ramai didatangi beragam etnis, Pulau Lombok sudah dihuni masyarakat Sasak yang disebut sebagai penduduk asli. Ragam bahasa antara Lombok dan Bali hampir serupa, sama-sama bersumber dari bahasa Kawi dengan aksara Jawa Kuno.
”Huruf aksara Sasak dan Bali 100 persen sama, hanacaraka-nya berjumlah 18. Ini berbeda dengan aksara di Jawa yang lebih banyak dua aksara. Bedanya, penulisan aksara Sasak lebih tegas dibanding aksara Bali,” ujar pemerhati budaya Sasak, I Gde Mandia, kepada tim Lintas Timur-Barat di Mataram, Minggu (23/10).
Begitu juga dalam teknik pencatatan. Tradisi menulis di daun lontar dilakukan pujangga dan sastrawan di Bali dan Lombok. Teknik ini dilanjutkan dengan tradisi membaca naskah sastra, pepawosan dalam budaya Sasak dan mabebawos dalam budaya Bali.
Kedekatan kultural itu dimanifestasikan pula dalam kehidupan beragama. Meskipun kini mayoritas masyarakat Sasak menganut agama Islam, namun dalam sekelompok kecil dari mereka masih menjalankan tradisi Watu Telu tersebut yang kemudian dikenal penganut Islam Watu Telu.
”Agama Tirta, yang berkembang menjadi agama Hindu, dan Watu Telu merupakan kepercayaan yang hampir sama, baik dari bentuk pemujaan maupun sarananya, yang disebut kemalik atau semacam tugu pemujaan,” kata Mandia. ”Ketika Islam semakin berkembang di Lombok, perlahan kemalik ini menghilang karena para penggrembe atau pemeluk kepercayaan itu beralih menjadi Muslim,” ujar mantan Kepala Taman Budaya Mataram ini.
”Di beberapa pura, kemalik ini masih ada dan disebut sebagai pelinggih kemalik, seperti di Pura Lingsar, Pura Suranadi, juga di Medaing dan Narmada,” lanjut Mandia.
Dalam ritual upacara masyarakat Hindu di Lombok dikenal tradisi melantunkan tembang Turun Taun saat berlangsungnya upacara sakral memohon turunnya hujan. Upacara ini digelar di pura setempat menjelang datangnya musim tanam.
Meskipun dilantunkan masyarakat Hindu, ragam bahasa dan lagunya jelas menunjukkan pengaruh Sasak, ditambah beberapa sisipan kata-kata bernuansa Islam. Sebait lagu ini, misalnya, Turun Taun Leq Gedong Sari//Mumbul Katon Suarge Mulie//Langan Dee Sida Allah Nurunang Sari//Sarin Merta Sarin Sedana, yang intinya kira-kira bermakna semoga Tuhan segera menurunkan hujan sebagai inti kebahagiaan.
Kata sangkaq dan kembeq (kenapa), lasingan, timaq (walau), aro (ah), kelaq moto (sayur bening), dalam bahasa Sasak, kata Mandia, antara lain juga diadopsi sebagai percakapan sehari-hari masyarakat Bali di Lombok.
Akulturasi kearifan
Akulturasi budaya antara penduduk lokal dan Bali serta Jawa juga terlihat dalam busana dan tradisi masyarakat. Misalnya, ikat kepala, yang dalam tata busana adat Sasak disebut sapuk (dipakai pria), mirip dengan destar dalam busana Bali.
Kebiasaan nebon, suami yang membiarkan rambutnya gondrong selama sang istri hamil, dikenal dalam tradisi Sasak dan Lombok. Rambut sang suami baru dipotong setelah istrinya melahirkan. Selama nebon, kegiatan rumah tangga ditangani suami. Kebiasaan ini dipertahankan dengan tujuan demi melahirkan generasi yang bibit, bebet, dan bobotnya berkualitas, juga kesehatan jasmani dan rohaninya lebih baik.
”Dulu, kalau mau berkunjung ke rumah seorang gadis, meskipun keduanya sama-sama keluarga Bali, sang pemuda harus bisa membacakan isi lontar Pesasakan, yang bahasa pantunnya murni menggunakan bahasa Sasak,” kata Mandia.
Mandia mengakui, tradisi yang sarat kearifan lokal tersebut kini sudah semakin memudar, bahkan menghilang, karena jarang dipraktikkan. Salah satunya, kebiasaan bertukar bahasa antara batur Bali, batur Jawa, dan semeton Sasak. ”Selain menjadi alat berkomunikasi, bahasa juga merupakan alat mempererat hubungan sosial dan alat pemersatu,” ujar Mandia mengakhiri perbincangan

hendra-kusuma.blogger.com

Sejarah Terbentuknya Kabupaten Lombok Timur Di desa Selaparang, Kec. Pringgabaya 30 Km dari arah timur laut Kota Selong terdapat Komplek Makam raja-raja Selaparang yang tentunya tidak akan jauh dengan keraton sebagai pusat pemerintahan. Berarti di sekitar Desa Selaparang dahulu terletak lokasi pusat kerajaan. Abad 17 Kerajaan di Pulau Lombok ada tiga yaitu, Pejanggik, Langko dan Selaparang Raja Pejanggik Pemban Meraja Kusuma mengangkat Adipati (Dipatinglaga) yang bernama Arya Banjar Getas seorang pembesar dari Kerajaan Selaparang yang pindah ke Pejanggik karena terlibat konflik dengan Raja Selaparang. Arya Banjar Getas (1690) bersekutu dengan kerajaan Karang Asem memberontak kepada Kerajaan Pejanggik dan Selaparang, kemudian Pejanggik dan Selaparang dapat dikuasai. Di Tanah Bea? dibuat kesepakatan bahwa P. Lombok Bagian Barat dikuasai Kerajaan Karangasem dan P. Lombok Bagian Timur dikuasai oleh Arya Banjar Getas. Wilayah Kekuasaan Arya Banajr Getas (p. Lombok Bagian Timur) sejak Tahun 1692 terpecah belah menghadapi perlawanan-perlawanan diantaranya : dari Raja Sumbawa, Datuk-datuk sasak, Datu Taliwang dll. Kondisi ini dimanfaatkan VOC, tanggal 11 Maret 1765 VOC mengirim 150 serdadu ke Sumbawa. Dengan alasan ketidakadilan terjadi pula pemberontakan di P. Lombok Bagian Barat (Kerajaan Mataram Karangasem) puncaknya perang Praya 7 Agustus 1891, dan 18 September 1891 seluruh desa di Lombok Timur ikut perang tersebut melawan Mataram Karangasem.


Menurut Dr.A.Van der Kraan perbandingan kekuatan kerajaan dan Lombok Timur 1 : 3 yaitu 17.000 dengan 49.000 orang. Hal ini dimanfaatkan Belanda untuk turut campur tangan dan mengirimkan ekspedisinya ke Lombok, setelah melalui perang diplomasi dan pertempuran 23 Nopember 1894 Mataram dapat dikalahkan dan Raja Anak Agung Gde Ngurah Karangasem dibawa ke Batavia. Setelah Perang Lombok pemerintahan di P. Lombok diatur dengan Staatsblad No. 183 tanggal 31 agustus 1895 dimana Lombok menjadi satu Afdeeling dari Karesidenan Bali dengan ibukota Lombok di Ampenan. Lombok terdiri dari Onder Afdeeling yaitu :
Lombok Timur dengan ibukota Sisi? (Lb. Haji) meliputi Kedistrikan Pringgabaya, Masbagik, Rarang, Kopang, Sakra, Praya dan Batu Kliang.
Lombok Barat dengan Ibu Kota Mataram. Setelah ratusan tahun dan melalui liku-liku sejarah pusat pemerintahan bergeser dari lereng Gunung Rinjani ke pesisir pantai Lombok timur. Pada waktu itu wilayah Lombok Timur termasuk Lombok Tengah sekarang meliputi 7 kedistrikan yaitu Pringgabaya, Masbagik, Rarang, Kopang, Sakra, Praya dan Batukliang. Pembagian wilayah diubah lagi pada tahun 1898 dimana Lombok dibagi 3 onder afdeeling yaitu :
Lombok Barat, 4 kedistrikan Sasak dan 12 kedistrikan Bali
Lombok Tengah, 4 kedistrikan yaitu praya, Jonggat, Batukliang dan Kopang
Lombok Timur 4 kedistrikan yaitu Rarang, Masbagik, Pringgabaya dan Sakra
Tanggal 11 Maret 1898 ibukota Lombok Timur dari Sisi? lb. Haji dipindahkan ke selong, hal ini disebabkan oleh :
Didahului dan sebagai dampak dari Congah (pemberontakan) Gandor (Muharram1318 H)
Untuk efektifitas pemerintahan
Supaya terpisah dari kesibukan perdagangan dan pelabuhan
Supaya susasana pusat pemerintahan lebih sejuk dan kota dapat diatur tata ruangnya dengan baik Kabupaten Lombok Timur terbentuk pada tanggal 27 Desember 1958 berdasarkan Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1959 sebagai Daerah Swatantra Tk II. Bupati Lotim pertama hingga kini
 
 
 
SEJARAH LOMBOK dalam berbagai versi
Menurut Babad Lombok, kerajaan tertua di pulau Lombok bernama Kerajaan Laeq, tetapi sumber lain menyatakan, bahwa kerajaan tertua adalah Kerajaan Suwung yang dibangun dan diperintah oleh seorang raja Betara Indera, sebagaimana disebutkan dalam Babad Suwung. Setelah Kerajaan Suwung ini surut muncul kerajaan Lombok. Pada abad IX-Xl berdiri Kerajaan Sasak dan berakhir setelah ditaklukkan oleh salah satu kerajaan yang ada di Bali saat itu. Selain itu, beberapa kerajaan yang pernah berdiri di pulau Lombok adalah Pejanggik, Langko, Bayan, Sokong Samarkaton dan Selaparang, yang disebut terakhir selama dua periode yaitu Selaparang periode Hindu/Pra Islam dari abad XIII yang berakhir dengan kedatangan ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357 dan Selaparang periode Islam yang muncul pada sekitar abad XVI dan berakhir 1740 setelah ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kerajaan Karang Asem, Bali dan Banjar Getas. Setelah ekspedisi Majapahit dibawah pimpinan laksamana Nala ke Lombok dan Dompu pada tahun 1357, kerajaan-kerajaan di Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur mulai ada. Sebelum itu penduduk asli di pulau Sumbawa merupakan kelompok-keiompok kecil, yang masing-masing dipimpin oleh seorang kepala suku. dikalangan masyarakat Mbojo disebut Niceki dan di dalam masyarakat suku bangsa Samawa disebut Tau Lokaq. Kerajaan-kerajaan di Sumbawa Timur dimaksud adalah Kerajaan Bima Sanggar dan Dompu. Sementara di Sumbawa Barat Kerajaan Utan Kadali, Seran dan Taliwang, sebagaimana disebut di dalam kitab Negarakertagama. Berkembangnya agama Islam serta munculnya kerajaan-kerajaan yang bersendikan agama telah mempercepat proses runtuhnya Kerajaan Majapahit. Seiring dengan itu, seluruh kerajaan yang ada di Lombok yang selama ini berada di bawah kekuasaan Majapahit menjadi kerajaan yang merdeka dan mandiri. Demikian juga dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Sumbawa. Diantara kerajaan-kerajaan di pulau Lombok yang baru memerdekakan diri tersebut, salah satu yang paling terkemuka dan terkenal diseluruh Nusantara saat itu adalah Kerajaan Lombok, yang terletak di Teluk Lombok yang kini dikenal dengan nama Labuan Lombok. Kerajaan Lombok inilah yang beberapa tahun kemudian, oleh pangeran (Sunan) Prapen, Putra Sunan Giri dijadikan sebagai Basis Islamisasi Pulau Lombok. Setelah Sunan Prapen berhasil menjalankan tugasnya di pulau Lombok ia meneruskan misinya ke Pulau Sumbawa, yang disinipun ia berhasil dengan gemilang menyebarkan agama Islam. Sepeninggal Sunan Prapen, atas dasar pertimbangan strategis, Prabu Rangkesari yang menggantikan Prabu Mumbul sebagai raja Kerajaan Lombok memindahkan ibukota yang semula terletak di Teluk Lombok ke bekas Kerajaan Selaparang (periode Hindu), yaitu Selaparang seperti nama keraiaannya. Rupa-rupanya kerajaan Lombok yang memindahkan pusat Kerajaan lnilah yang dikemudian hari dikenal sebagai Kerajaan Selaparang periode Islam. Kedatangan Belanda, setelah sebelumnya Portugis, semakin memanaskan suasana politik dan meningkatkan dinamika sosial budaya di seluruh Nusantara, termasuk di semua wilayah Nusa Tenggara. Dengan tujuan untuk menutup jalur Kristensasi dari timur ke barat oleh Portugis, maka pada bulan Juni 1618 sesuai dengan yang tercacat di dalam Tambo Gowa dan Tallo, Kerajaan Gowa menaklukkan dan mempersatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Sumbawa Barat. Kemudian berturut-turut pada tahun 1633, Gowa menaklukkan Bima, Tambora Sanggar dan Dompu, serta tahun 1640 menundukkan Selaparang. Namun yang perlu dicacat ialah bahwa penaklukan-penaklukan tersebut lebih banyak dilakukan dengan cara kultural dan spiritual. Artinya secara damai melalui perkawinan antara keluarga raja dan kesepakatan untuk mempertahankan iman Islam diantara mereka. Namun demikian usaha dan upaya Belanda terus menerus untuk menguasai Nusantara lambat laun mernbawa hasil pada tanggal 18 Nopember 1667 VOC berhasil memaksa Sultan Hasanuddin sebagai penguasa Gowa untuk menandatangani perjanjian yang terkenal dengan perjanjian Pongaya. Akibat dari perjanjian itu adalah mundurnya Gowa dari kerajaan-kerajaan yang ada dibawah kekuasaannya. Kerajaan Karangasem/Singasari, Bali, yang sejak lama mengincar pulau Lombok, baru berhasil menguasainya pada tahun 1470 setelah kerajaan ini melakukan persekutuan dengan Arya Banjar Getas. Maka sejak saat itulah pengaruh Bali kembali mewarnai kehidupan sosial, politik dan budaya suku. bangsa Sasak. Disamping itu, Belandapun terus menerus melakukan penetrasi politik dan kekuatan militernya, yang akhirnya menguasai pulau Lombok dan Sumbawa sampai dengan kedatangan Jepang yang mengalahkannya pada tahun 1942.</div>

Indie Management* Jl Sesetan Bali* Denpasar * Indonesia * 80223